Tetaplah Berkepala Dingin
Saat Keadaan Menjadi Panas
“Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan.” – Amsal 14:29
Jaman sekarang, orang-orang semakin gampang naik darah. Jika kita membuka surat kabar atau menyalakan televisi, kita bisa membaca atau mendengarkan berita tentang penumpang pesawat yang marah-marah kepada petugas bandara karena pesawat yang akan ditumpanginya mengalami penundaan, atau kejadiaan yang baru-baru ini terjadi, hujan interupsi yang menciptakan deadlock pada kongres PSSI bulan yang lalu menghasilkan kemarahan para pecinta persepakbolaan Indonesia kepada kelompok 78 yang ngotot meloloskan dua calon Ketua Umum PSSI yang telah ditolak FIFA.
Bahkan seorang Kristen bisa membenarkan dirinya untuk marah dengan alasan-alasan seperti:
- Saya mempunyai hak dan batas-batas tertentu dalam kehidupan.
- Jika seseorang melanggar batas-batas tersebut, saya mempunyai hak untuk merasa marah.
- Jika saya tidak mengungkapkan kemarahan saya, saya akan menyebabkan kerusakan yang tak dapat diperbaiki, baik bagi diri saya sendiri maupun orang yang telah bersalah kepada saya.
- Dengan demikian, bukan saja merupakan hak saya untuk mengungkapkan kemarahan saya kepada pasangan hidup yang tidak peka, gembala gereja yang tidak memberikan perhatian, anak yang tidak patuh, atasan yang suka melecehkan.
APAKAH KEMARAHAN ITU?
Kemarahan adalah reaksi jasmani dan emosional alami untuk merasakan keadilan. Ada tiga komponen dalam definisi ini:
A.Kemarahan itu Alami. Walaupun kedengarannya mengejutkan, saya ingin katakan bahwa kemarahan adalah bagian dari sifat Allah. Dalam PL, kata marah ditemukan 455 kali; 375 di antaranya adalah kemarahan Allah. Di PB, tercatat Yesus marah kepada para penukar uang yang korupsi di Bait Allah. Kemarahan Allah adalah reaksi alami karena kekudusan, keadilan, dan kasih-Nya. Karena Allah itu kudus, Ia bereaksi dengan keras terhadap dosa. Karena Allah itu adil, Ia membenci ketidakadilan. Karena Allah itu kasih, ia menghukum setiap tindakan yang tidak dipenuhi kasih. Tetapi karena dosa, kemarahan dalam diri manusia telah tercemar dengan dosa lain seperti keegoisan. Karena itu kita perlu belajar mengendalikan rasa marah kita dan mengunakannya untuk sesuatu yang tepat.
B.Kemarahan adalah Masalah Perasaan. Kadang-kadang kemarahan kita bisa berdasarkan pada informasi yang tidak lengkap atau tidak tepat yang kita dengar dari orang lain. “Pembicara pertama dalam suatu pertikaian nampaknya benar, lalu datanglah orang lain dan menyelidiki perkaranya.”- Amsal 18:17
C.Kemarahan Selalu Mengakibatkan Sebuah Tanggapan. Izinkanlah saya mengajukan satu pertanyaan kepada Anda. Apakah kasih itu salah? Jawabannya tergantung dari sasaran kasih Anda. Jika Anda sedang berbicara tentang mengasihi Allah, pasangan hidup, atau anak-anak Anda, tentunya kasih itu tidak salah. Tetapi jika Anda sedang berbicara tentang mencintai uang, pasangan hidup orang lain, atau pornografi, itu salah.
“Apabila kamu menjadi marah, janganlah kamu berbuat dosa: janganlah matahari terbenam, sebelum padam amarahmu dan janganlah beri kesempatan kepada Iblis.” - Efesus 4:26-27
Ini adalah ayat yang menarik. Kita tidak akan menemukan di Alkitab perintah untuk “Boleh bercabul, tetapi jangan berbuat dosa”, atau “Boleh serakah, tetapi jangan berbuat dosa”. Tetapi di ayat ini, kita mengerti bahwa setiap orang memiliki kemarahan, tetapi kemarahan itu harus dikendalikan.
BAGAIMANA MENANGANI KEMARAHAN
Jadi, bagaimanakah seharusnya kita menangani kemarahan yang kita rasakan terhadap orang-orang lain?
1. Ambillah Suatu “Waktu Istirahat”
”Orang yang sabar besar pengertiannya, tetapi siapa cepat marah membesarkan kebodohan.” – Amsal 14:29
“Orang yang sabar (lambat menjadi marah) melebihi seorang pahlawan, orang yang menguasai dirinya, melebihi orang yang merebut kota.” – Amsal 16:32
“Akal budi membuat seseorang panjang sabar (lambat menjadi marah) dan orang itu dipuji karena memaafkan pelanggaran..” – Amsal 19:11
Kadang-kadang, satu-satunya cara untuk menghindari ledakan kemarahan adalah dengan menyingkirkan diri Anda sejenak dari sumber amarah Anda. Untuk mendapatkan waktu yang diperlukan supaya menjadi tenang Anda mungkin perlu pindah ke ruangan lain, mengatakan kepada orang yang Anda ajak bicara di telepon bahwa Anda akan menelepon balik, atau meminta atasan Anda untuk memberikan waktu supaya Anda dapat memusatkan pikiran.
Ada kisah mengenai seorang pemuda yang mengalami kesulitan mengendalikan emosinya. Seorang yang bijak menasihatinya untuk mundur tujuh langkah, setiap kali dia marah. Suatu malam, ketika dia pulang dari bekerja, dia menemukan istrinya sedang tidur dengan orang lain.
Saking marahnya, ia mengambil parang, hendak membunuh kedua orang tersebut. Tetapi dia teringat dengan nasihat yang pernah dia dengar. Akhirnya, sebelum dia melampiaskan amarah-nya, dia mundur tujuh langkah. Mendengar langkah kaki suaminya, istrinya bangun, juga ibu mertuanya yang rupanya sedang menemani istrinya. Melihat ibu mertuanya, pemuda ini terduduk lemas dan bersyukur, karena nasihat yang diturutinya, menghindarinya dari melakukan kesalahan yang tak termaafkan.
Ketika kita belajar untuk mengambil suatu “Waktu Istirahat”, kita akan terhindar dari kesalahan-kesalahan yang tidak perlu.
2. Menganalisa Penyebab Kemarahan Anda
Tujuan dari waktu istirahat emosional bukan untuk menghindari kemarahan Anda, melainkan untuk memberikan kepada Anda waktu dan ruang yang diperlukan untuk menganalisa kemarahan Anda. Selama “waktu istirahat” Anda perlu menanyakan kepada diri Anda sendiri dua pertanyaan kunci.
Pertama, Mengapa saya marah? Apakah orang tersebut telah melanggar salah satu hak Anda atau dia melakukan kesalahan terhadap orang lain atau ia tidak melakukan tanggung jawabnya? Masing-masing ketidakadilan ini menuntut suatu jenis tanggapan yang berbeda. Jika seseorang terlambat datang satu jam dari janjinya kepada kita, Anda bisa memilih untuk mengabaikan pelanggaran ini sebagai kejengkelan kecil dalam hidup dan memaafkannya. Tetapi jika sahabat Anda bermain-main dengan dosa, Anda tidak mempunyai hak untuk mengabaikan kesalahan seperti itu atau bahkan mengampuninya, karena bukan Anda sendiri yang telah disakiti. Menurut Matius 18, Anda mempunyai tanggung jawab untuk pergi kepada sahabat Anda itu dan menegurnya dengan penuh kasih tetapi tegas. Atau jika pegawai mencuri uang Anda atau anak Anda tidak patuh, mengampuni dan melupakan bukanlah tanggapan yang cocok untuk kondisi ini. Tanggung jawab Anda sebagai majikan atau orangtua justru menuntut Anda untuk meminta pertanggungjawaban mereka.
Kedua, tanyailah diri Anda sendiri, Apakah saya sudah memiliki informasi yang lengkap dan tepat? Ingatlah bahwa kemarahan didasarkan pada ketidakadilan yang dirasakan. Kadang-kadang penyelidikan lebih jauh menyingkapkan bahwa kemarahan kita adalah akibat dari informasi yang kurang lengkap, bukti-bukti yang tidak tepat. Salomo mendorong kita untuk memastikan bahwa kita mempunyai semua informasi sebelum kita melampiaskan kemarahan:
“Jika seseorang memberi jawab sebelum mendengar, itulah kebodohan dan kecelaannya” - Amsal 18:13
3. Mengabaikan Pelanggaran-Pelanggaran Kecil
Dalam bencana besar seperti gempa bumi atau kecelakaan pesawat terbang, para professional medis mempraktikkan “triage”, di mana para korban dipisahkan oleh tingkat keparahan luka dan dirawat menurut tingkat tersebut. Misalnya , seseorang dengan kaki patah akan mendapatkan prioritas lebih dahulu dibandingkan seseorang yang kakinya terkilir. Beberapa luka kecil seperti lecet atau memar akan dibiarkan tidak ditangani sama sekali karena semua itu biasanya sembuh sendiri.
Setiap kali kehidupan kita menderita luka ringan dari orang-orang lain seperti telepon yang tidak dibalas, ulang tahun yang dilupakan, dan janji pertemuan yang terlambat dipenuhi. Seperti lecet dan memar, ketidakadilan itu nyata dan menyakitkan, tetapi semuanya jarang memerlukan perawatan yang besar. Salomo menyarankan supaya kita belajar untuk mengabaikan kelalaian sehari-hari:
“Akal budi membuat seseorang panjang sabar dan orang itu dipuji karena memaafkan pelanggaran.”- Amsal 19:11
Tetapi, beberapa dari kemarahan yang kita rasakan tidak dapat dengan begitu mudah disingkirkan….
4. Belajarlah untuk Mengampuni Pelanggaran-pelanggaran Besar
Mungkin kemarahan Anda berasal dari sebuah perceraian yang menyakitkan, masa kecil yang teraniaya, atau pemberhentian yang tidak layak diterima. Luka yang telah Anda derita memang nyata dan tidak dapat diabaikan. Untunglah Allah telah memberikan kepada kita suatu prosedur bedah untuk menyembuhkan luka-luka berat dalam kehidupan. Prosedur itu disebut pengampunan.
Pengampunan tidak sama dengan pura-pura tidak ingat. Amarah yang dipendam seperti bara dalam sekam yang membakar habis seseorang. Kita perlu memiliki pengertian yang Alkitabiah tentang pengampunan. Mengampuni berarti:
a.Mengakui bahwa Anda telah diperlakukan dengan salah. Di Kejadian 50:20, Yusuf mengampuni saudara-saudaranya yang menjualnya, tetapi dia tidak menyangkal atau mengecilkan kesalahan saudara-saudaranya.
b.Mengakui penyerang berhutang kepada Anda. Pelanggaran menciptakan hutang dan hutang harus dibayar.
c.Melepaskan penyerang dari hutangnya kepada Anda. Mengapa harus melepaskan? Tentu saja ada keuntungan emosional dan psikologis, tetapi menurut Efesus 4:32, pengampunan adalah sebuah kewajiban bagi orang yang telah diampuni dan kita telah diampuni oleh TUHAN.
d.Menantang penyerang jika diperlukan. Menurut Markus 11:25-26, kita perlu belajar mengampuni seseorang bahkan ketika dia belum minta maaf. Tetapi menurut Lukas 17:7, terkadang kita perlu menegurnya supaya ia sadar dan berubah.
5. Janganlah Bergaul dengan Orang-orang yang Suka Marah
– Amsal 22:24-25
Dalam autobiografinya, manager baseball Billy Martin mengambarkan sebuah perjalanan berburu yang pernah dilakukannya dengan Mickey Mantle. Mickey mempunyai seorang sahabat yang mengizinkannya berburu di area peternakannya, tetapi juga meminta bantuannya menembak seekor keledai yang lagi sakit dan hampir mati. Dengan niat bercanda, Mickey mendekati Billy yang menunggu di mobil dan berkata dengan marah: “Orang itu tidak mengijinkan kita berburu. Aku marah dan akan pergi membunuh salah satu keledainya”. Kemudian dia mengendarai mobilnya ke kandang seperti orang gila, keluar dari mobil, berlari ke dalam dan menembak keledai tersebut. Segera setelah itu, dia mendengar dua tembakan dan berlari kembali ke mobil, ia melihat Billy mengeluarkan senapannya juga. “Apa yang kamu lakukan, Billy?” Dengan nada marah, Billy berteriak, ”Kita tunjukkan kepada orang sombong itu, siapa kita! Aku baru saja membunuh dua dari sapi-sapinya!”
Kemarahan menular. Salomo mengingatkan kita untuk tidak bersahabat, menjalin hubungan bisnis, berpacaran dengan orang yang mengalami kesulitan mengendalikan amarahnya.
ConversionConversion EmoticonEmoticon