Renungan Jumat Agung
Ada sosok yang terlalu sulit untuk dilihat dan terkadang membuat kita memalingkan wajah. Ketika saya baru menjadi murid Yesus, saya berkesempatan menjadi relawan di salah satu klinik kesehatan yang memberikan pelayanan secara gratis di Muara Baru, Jakarta Utara. Pada hari itu saya membantu dokter membersihkan luka di kaki salah satu pasien yang telah bernanah karena infeksi. Karena belum berpengalaman dan masih muda pada waktu itu, saya memalingkan muka saya ketika melihat luka tersebut.
Penderitaan yang Yesus alami adalah sosok yang paling sulit untuk dilihat, tapi terlalu berarti untuk diabaikan. Saya berharap kali ini saya tidak memalingkan muka saya, supaya saya melihat kepada pengorbanan TUHAN, mengerti dan berubah.
“Ketika imam-imam kepala dan penjaga-penjaga itu melihat Dia, berteriaklah mereka: "Salibkan Dia, salibkan Dia!" Kata Pilatus kepada mereka: "Ambil Dia dan salibkan Dia; sebab aku tidak mendapati kesalahan apapun pada-Nya." Yohanes 19:6
Bagi Pilatus , Yesus bukanlah pemberontak yang pantas disalib,
Bagi orang Yahudi, Yesus bukan Mesias yg mereka inginkan..
Bagi orang Farisi, Yesus bukanlah boneka yang bisa dikendalikan untuk kepentingan mereka.
Tetapi, jika Yesus mati, itu akan menyelesaikan masalah mereka semua. Mereka akhirnya membebaskan Barabas dan menyalibkan Yesus.
Sebagai seorang Kristen, kita sudah sering mendengar kata penyaliban. Tetapi sering kali arti salib tidak lagi menyentuh hati kita secara pribadi.
Latar Belakang Penyaliban
Berabad-abad yang lampau, manusia merancang cara untuk memberikan hukuman mati, selambat dan sesakit mungkin.
Menurut sejarawan Yunani Herodutus, orang-orang Persia menemukan praktik penyaliban ini setelah bereksperimen dengan bentuk-bentuk lain dari kematian yang perlahan-lahan, seperti melempari dengan batu, menenggelamkan, membakar, merebus dalam minyak, memotong dan menguliti. Dan akhirnya mereka mulai menggunakan cara eksekusi terhadap orang yang mereka anggap sangat jahat dengan cara memantek di atas tiang agar orang tersebut tidak mencemari tanah lagi, di mana dewa mereka Ormuzd, sudah menjadikannya suci. Selanjutnya, penyaliban menjadi sebuah alat yang dipakai oleh Aleksander Agung, empat orang jenderal penggantinya, dan akhirnya orang-orang Kartaginia, dan dari merekalah orang-orang Romawi mempelajarinya.
Seorang orator di masa silam yang bernama Cicero mengambarkan penyaliban sebagai berikut: “Penyaliban adalah penyiksaan terburuk yang paling ekstrem yang diberikan kepada budak. Mengikat seorang Romawi adalah sebuah kejahatan, menyesahnya adalah sebuah kebencian, membantainya adalah nyaris sebuah tindakan pembunuhan: menyalibkannya adalah….apa? Tidak ada kata yang cocok untuk mendeskripsikan perbuatan yang begitu mengerikan.”
Penyaliban mengandung empat macam kualitas yang sangat dihargai oleh orang-orang Romawi dalam menjalankan eksekusi, yaitu kesakitan yang terus menerus, kematian yang berlarut-larut, menjadi tontonan masyarakat, penghinaan total. Oleh karena itu, penyaliban menjadi salah satu alat yang paling ampuh untuk menjaga keteraturan dan keamanan.
Meskipun orang Romawi bukanlah penemu penyaliban, mereka telah menjadikan teknik pemberian hukuman seperti ini sebagai sebuah seni yang mengerikan. Seorang exactor mortis dididik di sekolah terbaik untuk menghuum mati dan memimpin sepakukan prajurit yang disebut quaternion. Tugas utama mereka adalah membuat eksekusi yag dilakukan orang Romawi menjadi sebuah pemandangan yang mengerikan. Dari waktu ke waktu, mereka belajar bagaimana menambahkan bermacam-macam unsure pada prosedur penyiksaan itu dan mengaturnya supaya dapat memperoleh efek yang diinginkan. Mereka sangat ahli dalam mengatur seberapa besarnya penderitaan, penyebab kematian, dan bahkan kapan korban harus mati.
Secara khusus korban akan menerima pukulan dengan flagrum sebelum dieksekusi, dan sampai tingkatan mana ia disesah biasanya akan menentukan berapa lama ia akan dapat bertahan di atas kayu salib. Jika pengeksekusi menginginkan korban mati dengan sangat cepat, ia akan melakukan penyesahan dengan potongan-potongan kecil tulang domba yang ujungnya tajam dan diuntai menjadi bentuk ekor. Sebaliknya, penyesahan yang lebih ringan dengan tali-tali cambuk kulit bisa mengakibatkan orang itu masih dapat bertahan berhari-hari di atas kayu salib dan barangkali lebih dari satu minggu.
Yesus tidak akan membawa seluruh kayu salib yang beratnya lebih dari seratus dua puluh lima kilogram itu. Bahkan orang yang tidak disesah pun akan mengalami kesulitan untuk menyeret – apalagi membawa – beban seberat itu lebih dari seratus meter. Balok horizontal yang disebut patibulum, akan diletakkan melintang pada bagian belakang leher korban dan diatur keseimbangannya di sepanjang kedua bahunya. Balok vertikalnya, yang disebut stipes, menunggu si korban di tempat penyaliban.
Untuk lebih memahami efek dari penyaliban pada tubuh, Dr. Frederick Zugibe, seorang ahli forensik patologis yang telah meneliti penyaliban selama lebih dari lima puluh tahun, melakukan eksperimen dengan mengikat sukarelawan pada sebuah kayu salib untuk mengamati perilaku mereka. Sukarelawan mengalami ketidaknyamanan yang amat sangat dalam setengah jam pertama. Lengan bawah mereka menjadi mati rasa dan mereka merasa seolah-olah kedua bahu mereka ditarik lepas dari tempatnya. Untuk mengurangi rasa sakit dan keadaan mati rasa pada kedua lengannya, secara insting, kaki mereka akan mengalami kram, letih, dan menjadi dingin sampai punggung mereka akan melengkung. Tetapi, ini segera menjadi terlalu sulit untuk ditahan, sehingga mereka kembali ke posisi sebelumnya. Akhirnya, sukarelawan itu harus mempertahankan tubuh mereka dengan gerakan konstan supaya bisa menahan rasa sakit di kedua lengan, dada, punggung, dan kaki. Bayangkan melakukan hal seperti ini selama dua puluh empat jam sehari, selama berhari-hari samapai mati. Penemuan ini mengubah pandangan para ahli sejarah terhadap penyaliban.
Paku yang dipalu di telapak tangan pada bagian yang dekat dengan pergelangan tangan akan sangat merusak syarat saraf median dari lengan atas dan bawah. Dalam satu dua jam saja korban akan mengalami kesakitan yang disebut causalgia. Rasa sakit itu menjalar di lengan seperti sambaran petir dan korban yang mengalami causalgia sering kali mengalami guncangan (shock) apabila rasa sakitnya tidak terkendali.
Kemudian Yesus disalib. Film The Passion of the Christ mengambarkan penyaliban Yesus dengan cukup tepat. Ketika semuanya telah selesai, Dia berkata dengan tarikan nafasNya yang terakhir dan berseru, “Tetelestai!”. Artinya: “Lunas dibayar”. Yesus mendeklarasikan bahwa hutang dosa kita sudah sepenuhnya Ia lunasi. Kemudian kepalaNya tertunduk, dan Ia menyerahkan nyawaNya.
Barabas
Bayangkan sejenak seperti apa jadinya semua ini bagi Barabas. Ketika itu dia sedang duduk sambil mengusap-usap wajahnya di dalam sel bawah tanah yang lembab sambil menanti hukuman yang akan diterimanya pada pagi itu. Dia telah mendengar tentang kekejaman penyaliban, dan setiap kali membayangkannya, perasaan takut menjalar keseluruh tubuhnya. Tidak lama berselang, ia mendengar suara kaki-kaki prajurit menuju sel tahanannya, kemudian pintu terbuka. Barabas bangkit berdiri lalu menyodorkan kedua pergelangan tangannya kepada prajurit- tersebut untuk diborgol dengan besi. Namun prajurit itu menjangkau dalam kegelapan, merenggut jubah Barabas yang kotor, lalu menariknya dengan sentakan menuju koridor. Cahaya menerpa dan menyebabkan kelopak matanya tertutup, disertai rasa sakit yang menghujam dalam-dalam di kepalanya. Penjaga yang lainnya mendorongnya dari belakang dan terus mendorongnya melewati gang utama menuju ke pintu keluar dari ruang tahanan bawah tanah itu. Begitu pintu gerbang dibanting tertutup dibelakangnya, ia berdiri tidak bergerak, sendirian dan kebingungan di bawah cahaya pagi yang membutakan, dan mengintip dari balik jari-jarinya, pelan-pelan membiarkan matanya menyesuaikan. Setelah beberapa menit, ia menyadari tidak ada seorangpun disekitarnya. Setelah berbulan-bulan berada di dalam sebuah sel yang gelap dan lembab yang bahkan tidak cukup besar untuk membaringkan tubuhnya, ia bebas!
Selama bertahun-tahun, saya bertanya-tanya tentang bagaimana reaksi Barabas ketika ia mengetahui bagaimana ia mendapatkan kebebasannya. Para penerima pencangkokan organ sering kali ingin mengetahui siapa pemberi hadiah yang mereka terima itu. Apakah Barabas ingin mengetahui siapa yang mengambil alih cambukkan yang seharusnya diterimanya? Jalan salib dengan mengangkat patibulum seberat 125kg yang harus dipikulnya? Salib itu sendiri yang seharusnya ditanggungnya?
Yesus tidak saja mengantikan posisi Barabas. Dia juga mengantikan posisi kita. Ada Barabas dalam setiap diri kita. Kita telah berdosa, dan selayaknya kita mendapatkan hukuman yang setimpal dengan dosa dan pelanggaran kita. Bagaimana reaksi kita, karena berbeda dengan Barabas yang tidak tahu siapa yang mengantikannya, kita tahu siapa yang mengambil alih posisi kita? Apakah kehidupan rohani kita sepadan dengan pengorbanan TUHAN?
“Sebab kamu tahu, bahwa kamu telah ditebus dari cara hidupmu yang sia-sia yang kamu warisi dari nenek moyangmu itu bukan dengan barang yang fana, bukan pula dengan perak atau emas, melainkan dengan darah yang mahal, yaitu darah Kristus yang sama seperti darah anak domba yang tak bernoda dan tak bercacat” - 1 Petrus 1:18-19
ConversionConversion EmoticonEmoticon