FINISHING WELL

Menyelesaikan Dengan Baik
Seri Khotbah Finishing Well

Selamat datang di bulan November. Tidak terasa tahun ini tinggal 56 hari lagi. Kita akan segera mengakhiri tahun 2011 menuju tahun yang baru. Ketika memulai tahun ini, mungkin kita memulainya dengan semangat yang tinggi. Kita membuat resolusi atau rencana sepanjang tahun ini:

v Ada yang ingin lebih rohani dan terlibat dalam pelayanan.
v Ada yang ingin menabung dan melunasi hutang-hutangnya.
v Ada yang ingin menurunkan berat badan.
v Ada yang ingin lebih fit dan sehat dengan berolahraga.
v Ada yang ingin menikmati tahun ini dan lebih berbahagia.
v Ada yang ingin lebih disiplin.
v Ada yang ingin jatuh cinta.
v Ada yang ingin membantu orang lain.
v Ada yang ingin menghabiskan waktu lebih banyak dengan keluarga.
v Ada yang ingin menghentikan kebiasaan buruknya.
v Ada yang ingin belajar sesuatu yang baru.

Apakah Anda telah mencapai resolusi Anda? Jika sudah, amen. Tetapi jika Anda berusaha melupakan resolusi yang Anda buat di awal tahun dan berpikir: “Saya tidak mungkin bisa mencapainya tahun ini. Mungkin tahun depan saya coba lagi”,
saya ingin memberitahu Anda bahwa tahun ini belumlah berakhir, masih ada 56 hari ini. Dan 56 hari berarti 1.344 jam, 80.640 menit, 4.838.400 detik dan itu adalah waktu yang banyak. Banyak hal yang masih bisa kita capai dengan jumlah waktu sebanyak itu. Karena hidup ini sendiri bukanlah tentang bagaimana kita memulainya, tetapi bagaimana kita mengakhirinya.
Karena itu, tema jemaat sampai akhir tahun ini adalah Finishing Well atau Menyelesaikan Dengan Baik dan ini juga tema khotbah saya pada hari ini.
Terlalu Cepat Menyerah

Thomas Edison pernah mengatakan: “Banyak orang yang gagal dalam hidup adalah orang-orang yang tidak menyadari betapa dekatnya mereka dengan keberhasilan saat mereka menyerah.”
Saya pernah membaca kisah yang diceritakan oleh Tim Hansel, seorang pendaki gunung yang mendirikan Summit Expedition, yang juga seorang penulis ternama dari Amerika Serikat. Saat itu,  ia sedang bercakap-cakap dengan seorang pemandu padang gurun bernama Bernie:

"Saya sering menyaksikan orang tersesat di sini" Kata Bernie. Saya menjawab, “Itu mungkin disebabkan kekurangpahaman mereka membaca peta dan kompas, benar bukan?

"Tidak juga", kata Bernie.
"Ya, mungkin karena ini pertama kalinya mereka melewati padang gurun," sekali lagi Bernie menjawab,"Tidak, tidak"
"Kalau begitu mungkin mereka orang-orang kota yang tidak mengenal daerah ini” kata saya sekenanya. “Bukan begitu” Jawab Bernie sekali lagi.

Akhirnya ia menjelaskan: “Mereka tersesat karena mereka tidak berjalan cukup jauh. Saya sudah memberi petunjuk kepada mereka untuk lurus saja 10 km di depan dan mereka akan bertemu jalan raya, tetapi ketika baru sampai separuh jalan, mereka mulai belok ke kiri atau ke kanan dan akhirnya tersesat. “

Banyak orang mengalami kegagalan dalam hidupnya sebenarnya karena tidak berjalan cukup jauh saja.
Sebelum kita membahas surat 2 Timotius, ada beberapa fakta singkat yang perlu kita ketahui:
1)   Ini adalah surat terakhir yang ditulis oleh Paulus sebelum kematiannya.
2)   Paulus menuliskan surat ini ketika ia dalam penjara.
3)   Gereja sedang mengalami penganiayaan hebat. Untuk melenyapkan pengaruh Kristen yang semakin kuat, Kaisar Nero membakar setengah kota Roma dan menuduh orang-orang Kristen yang melakukannya. Masa yang benar-benar sulit.
4)   Paulus sudah tua, Timotius adalah generasi penerus yang akan menerima tongkat estafet Paulus. Tetapi ia masih muda dan agak takut karena penganiayaan yang terjadi.

Berdasakan fakta-fakta diatas, Paulus menguatkan Timotius. Paulus akan segera mengakhiri pertandingannya. Ia ingin Timotius-pun mengakhiri pertandingan imannya dengan baik. Ada tiga langkah yang perlu kita ambil untuk menyelesaikan pertandingan kita dengan baik.


1. Mengingat Kembali Akar Kerohanian Anda


“Sebab aku teringat akan imanmu yang tulus ikhlas, yaitu iman yang pertama-tama hidup di dalam nenekmu Lois dan di dalam ibumu Eunike dan yang aku yakin hidup juga di dalam dirimu.” – 2 Timotius 1:3-5


Pertama-tama, Paulus mengingatkan Timotius akan akar kerohaniannya. Kita semua memiliki akar kerohanian. Baik akar kerohanian yang kita dapatkan dari orang tua kita ataupun ketika pertama kalinya kita menjadi Kristen. Ketika itu, roh kita menyala-nyala untuk melayani Tuhan. Mungkin hari ini kita telah kehilangan semangat itu karena persoalan-persoalan dalam hidup yang kita hadapi. Karena itu, ingat kembali mengapa Anda mau mengambil keputusan untuk mengikuti Tuhan. Apa yang Anda banggakan hidup sebagai seorang Kristen. Ingat kembali tujuan hidup Anda.
Pada kejuaraan lari 600m indoor antar kampus di Amerika Serikat, Heather Dorniden, yang difavoritkan juara terjatuh di putaran terakhir. Penonton terkejut. Tetapi dengan segera, ia bangkit kembali dan berlari dengan cepat, melewati setiap pemain dan akhirnya juara. Ketika kita mengalami kegagalan sementara, kita perlu:

2. Mengobarkan Kembali Semangat Kerohanian


Karena itulah kuperingatkan engkau untuk mengobarkan karunia Allah yang ada padamu oleh penumpangan tanganku atasmu. Sebab Allah memberikan kepada kita bukan roh ketakutan, melainkan roh yang membangkitkan kekuatan, kasih dan ketertiban..” 2 Timotius 1:6-7

Melalui ayat ini, Paulus berpesan: “Timotius, kamu diberkati Tuhan dalam banyak hal, karena itu jangan sembunyikan talentamu.  Biarkan mereka bercahaya. Jangan takut, biarkan Roh Kudus bekerja dalam dirimu menghasilkan kekuatan, kasih dan ketertiban.”
Pesan Paulus juga diperuntukkan bagi seorang orang yang menyebut dirinya Kristen.  
Jangan takut gagal. Jangan sembunyikan talenta yang Tuhan karuniakan kepadamu. Biarkan Roh Kudus bekerja. Jika kamu bisa menyanyi, maka bernyanyilah bagi Tuhan. Jika bisa mengajar firman Tuhan, maka mengajarlah. Jika kamu bisa mengundang orang ke gereja, maka undanglah. Jika kita bisa membantu orang yang kurang mampu, maka bantulah. Semua orang bisa melayani Tuhan, bahkan kita bisa melayani lebih dari satu bidang pelayanan. Kobarkanlah kembali semangat kerohanianmu!

3. JANGAN MAU DIINTIMIDASI OLEH APAPUN JUGA

Jadi janganlah malu bersaksi tentang Tuhan kita dan janganlah malu karena aku, seorang hukuman karena Dia, melainkan ikutlah menderita bagi Injil-Nya oleh kekuatan Allah.” - 2 Timotius 6:8
“ Itulah sebabnya aku menderita semuanya ini, tetapi aku tidak malu; karena aku tahu kepada siapa aku percaya dan aku yakin bahwa Dia berkuasa memeliharakan apa yang telah dipercayakan-Nya kepadaku hingga pada hari Tuhan..” 2 Timotius 6:12

Ada dua pernyataan dari Paulus kepada Timotius yang perlu kita perhatikan disini, yaitu “Jangan malu” dan “aku tidak malu”. Paulus meminta Timotius untuk tidak malu bersaksi tentang Tuhan dan untuk tidak malu memiliki pembimbing rohani seorang narapidana. Paulus sendiri mengatakan bahwa ia tidak malu, walaupun harus dipenjara dan menderita, karena ia percaya, Yesus yang adalah Tuhan-pun tidak malu mati tergantung di kayu salib sebagai seorang narapidana, apalagi dirinya. Dan hal ini dikatakannya kepada Timotius, supaya penerusnya ini memiliki semangat yang sama dengan dirinya.
Kita pasti mengerti pernyataan Paulus diatas. Karena ada masa dalam hidup kita, kita malu dan takut menunjukkan identitas kita sebagai seorang Kristen. Boro-boro mau bersaksi tentang Tuhan, malah orang tidak tahu kita ini seorang Kristen. Sikap seperti ini sama dengan seseorang yang menemukan obat kanker, tetapi terlalu takut dan malu untuk membagikannya kepada orang lain.
Jangan malu dan takut. Jangan mau diintimidasi oleh apapun juga. Buang pikiran: “Dia kelihatannya tidak membutuhkan kesaksian saya”, “Sudah terlambat untuk memulainya lagi”, “Tahun depan lagi deh”, “Saya capek, toh tidak ada hasilnya.” Isi dengan pikiran: “Akan saya coba lagi”, “Saya mau kembali semangat melakukannya”, “Bersama dengan Tuhan, tidak ada yang mustahil.
Ada sebuah kisah luar biasa yang terjadi pada Olimpiade di Mexico City tepat 40 tahun yang lalu (1968). Ada seorang pelari maraton asal Tanzania yang sensasional direkam sejarah. John Stephen Akhwari namanya. Ia menjadi tajuk berita bukan karena memecahkan rekor finish tercepat, bukan pula karena memenangkan medali emas. Stadion pun sudah hampir kosong. John Stephen Akhwari kemudian terlihat memasuki stadium dengan tertatih-tatih, kakinya dibalut dan terlihat berdarah. Ini yang terjadi: ketika memasuki kilometer ke 19, ia terjatuh karena 
tubrukan. Akhwari mengalami luka menganga di lutut kanannya dan mengalami masalah dengan persendian bahunya.Dalam kondisi demikian, semua orang akan maklum jika ia mengundurkan diri. Bayangkan terus berlari dengan lutut terluka parah, dan bahu lepas dari persendian. Mungkin membayangkannya saja kita sudah bergidik. Tapi apa yang diputuskan oleh Akhwari adalah luar biasa. Dia meneruskan perlombaan dengan segenap sisa kekuatan yang ada, dan bisa mencapai finish. Mungkin bagi sebagian orang ia dianggap bodoh, minimal heran akan keputusannya. Wartawan pun bergegas menanyakan apa yang menyebabkan ia terus berlari meski tahu bahwa ia tidak mungkin lagi menang. Akhwari memberi jawaban: “Negara saya tidak mengirim saya sejauh 10,000 mil untuk memulai perlombaan, mereka mengirim saya sejauh  itu untuk menyelesaikannya.”        
Tuhan Yesus, Rasul Paulus, John Stephen Akhwari telah menyelesaikan pertandingan mereka dengan baik. Sebagai seorang Kristen, ini adalah saatnya bagi kita untuk menunjukkan sikap luar biasa, menyelesaikan setiap pertandingan yang Tuhan percayakan kepada kita. Masih ada waktu di tahun ini, manfaatkan dengan sebaik-baiknya. Masih ada umur dalam hidup kita, hiduplah untuk kemuliaan Tuhan. Selesaikanlah dengan baik! Semoga Bermanfaat ! Kemuliaan bagi TUHAN!
Previous
Next Post »
Thanks for your comment